Kamis, 29 September 2011

MASYARAKAT DESA ANGGASAN KEC. DONDO KAB. TOLITOLI MENOLAK PT. CPM
Masyarakat Desa Anggasan Kec. Dondo Kab. Tolitoli menolak perusahaan tambang emas yang akan beroperasi di Wilayahnya,  hal ini ditegaskan oleh salah satu tokoh pemuda Desa Anggasan Kec. Dondo Moh. Rifai M. Hadi juga menjabat sebagai Ketua umum Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Dondo, pada pertemuan tanggal 04/09/2011 di Balai Desa Anggasan yang dihadiri ± 60 orang.  Jika perusahaan tambang emas beroperasi di Anggasan maka, hal ini akan merugikan dan menyensarahkan masyarakat nantinya, betapa tidak sebanyak ± 4800 Ha hutan didaerah ini akan di kuasai oleh perusahaan PT. Citra Palu Mineral, bahkan sampai diperkampungan dan diperkebunan masyarakat setempat yang sudah puluhan tahun dikelola. Dengan adanya perusahaan  tersebut, maka bisa menimbulkan kerusakan lingkungan atau bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir serta penggalian dan pengambilan batuan akan menggusur lahan pertanian, hutan sumber-sumber air dan membentuk lubang-lubang besar menganga. Hilangnya hutan akan diikuti hilangnya keanekaragaman hayati dan mata pencaharian penduduk sekitar yang bergantung kepada hutan, pada gilirannya akan terjadi krisis air karena kemampuan tanah menyimpan air berkurang. Tempat yang sama persediaan air yang ada juga akan digunakan oleh perusahaan tambang yang dikenal sebagai industri rakus air. Hal ini akan diperparah oleh limbah tambang yang potensial mencemari sungai dan air tanah.
Kemudian Kegiatan pemisahan logam dan bijih dari batuan (ekstraksi) biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan kimia Sianida ataupun Merkuri. Kegiatan ini akan menghasilkan produk samping dan buangan limbah yang potensial menjadi pencemar lingkungan. Sumber pencemar biasanya berasal dari batuan permukaan (over burden), limbah tailing dan air asam tambang (acid mine drainage). Tercemarnya lingkungan di sekitar tambang akan mengganggu kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar. Pencemaran wilayah pertanian  dan sungai akan menurunkan penghasilan masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan penolakan masyarakat terhadap masuknya perusahaan tambang  PT. Citra Palu Mineral di wilayah tersebut.
Hal ini dipertegas lagi oleh Kepala Desa Anggasan Kec. Dondo bahwa perusahaan ini tidak boleh masuk di Desa Anggasan walaupun sudah memiliki izin dari pusat, toh izin tersebut masih dalam pemerintahan Soeharto yang kemudian diperpanjang lagi. Semua perusahaan tidak ada yang tidak merusak lingkungan dan tidak menyensarahkan rakyat. Terbukti,  tidak sedikit perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan dan merusak habitat hutan sebagai contoh : PT.IMK. di Kalteng mengakhiri tambangnya tahun 2002 dengan mewariskan tailing dan lubang-lubang tambang di Sarujam dan Batu tampak salah satunya memiliki lebar 100 meter, panjang 1,5 km dengan kedalaman 300 meter.





PERJUANGAN MASYARAKAT DONDO


SEJARAH SINGKAT PERISTIWA PERLAWANAN RAKYAT MALOMBA KECAMATAN DONDO KAB. TOLITOLI TERHADAP PEMERINTAH JEPANG TANGGAL 18 JULI 1945

Sebagaimana kita ketahui bahwa bangsa indonesia selama 350 tahun dijajah oleh bangsa belanda. Nanti pada akhir tahun 1941, pemerintah belanda menyerah kepada pemerintah jepang.
Pemerintah jepang mulai berkuasa di Indonesia awal tahun 1942. Pada permulaan  pemerintahan jepang tehadap bangsa Indonesia sangat baik. Sampai adanaya jembatan dari pemerintah jepang, indonesai – jepang sama-sama.
Tapi setelah pemerintahan jepang berjalan 2 tahun di Indonesia mulailah mengganas. Dalam menjalanjkan pemerintahan. Masyarakat dipaksa bekerja untuk kepentingan jepang, ada keslaahan sedikit dilakukan oleh masyarakat maka diadakan hukuman (pemukulan), kemudian masyarakat dipaksa berkebun dan bertani. Hasilnya 75 % diambil oleh pemerintah jepang, sehingga akibatnya masyarakat kesulitan makanan dan juga pakaian.
Pokoknya selama pemerintahan jepang, masyarakat menderita kehidupannya. Akhir bulan juli 1945 seorang penduduk malomba yang merantau kurang lebih 30 tahun di kalimantan, bernama Tantong Karonjani kembali ke malomba. Oknum inilah yang membawah berita bahwa pemerintah jepang telah menyerah terhadap pemerintah sekutum(amerika, Inggris, Belanda).
Dasar berita inilah masyarakat malomba, yang selama ini sangat menderita, mendorong untuk mengadakan musyawarah dengan maksud melawan kepada pemerintah jepang.
Awal bulan juli 1945 masyarakat malomba mengadakan musyawarah dipimpin oleh Tantong karonjoni, musyawarah dilaksanakan dirumah bapak Radjaili yang pada saat itu sebagai ketua partai Syarikat Islam. Hadir dalam musyawarah ada dua suku bangsa yaitu suku Dondo dan suku Bugis semuanya penduduk desa Malomba (kurang lebih 50 orang).
Dalam musyawarah menghasilkan sebagai berikut :
1.      Masyarakat malomba harus mengadakan perlawanan kepada pemerintah jepang.
2.      Penjagaan dibahagi dua yaitu arah timur dan arah barat.
3.      Arah timur dipimpin oleh Baula (suku Dondo)
4.      Arah barat dipimpin oleh Lasainong (suku Bugis)
Dengan catatan : jika musuh masuk dari arah timur maka arah barat membantu demikian sebaliknya.
Sekitar tanggal 7 juli 1945 mulailah masyarakat Malomba mengadakan aksi hasil musyawarah yaitu menangkap dan mengikat tiga orang Polisi jepang yang bertugas dimalomba yaitu Jos Pasla, Kare dan Manapo. Ketiga orang Polisi yang ditangkap ini diserahkan kepada kepala kampung Malomba (Logarodi). Tanggal 10 Juli 1945 ketiga polisi yang dalam pengawasan kepala kampung ini sempat melarikan diri. Manapo lari ketarakan kere lari ke Bambapula (dibunuh oleh masyarakat Bambapula) dan Jos Pasla lari ke Tolitoli. Yos Pasla inilah yang melaporkan kepada atasannya (pemerintah jepang).
Dengan dasar laporan ini pemerintah jepang mempersiapkan pasukan untuk menggempur masyarakat malomba. Turut dalam rombongan pemerintah jepanhg itu ialah : Imaki Ken Kanrikan (Bupati), Raja Tolitoli H. Moh saleh Bantilan, jum Po Co (Kepala Polisi) Danres dan Dua regu anggota polisi Jepang.
Rombongan berangkat dari Tolitoli menggunakan perahu turun di Malala, Langsung ke Tinabogan dan tepat hari kamis 18 Juli 1945 tiba di malomba jam 11 siang inilah puncak peristiwa. Rombongan pemerintah jepang pada saat itu disambut oleh masyarakat Malomba kurang Lebih 20 orang termasuk Lanoni, Bebelan, Taniangka, Mangi Darinong, Abd. Wahab, H. Hansah DLL. Setelah bertemu dan berhadap-hadapan antara masyarakat dan Pemerintah Jepang, Jum po Co (kepala Polisi) Danres memberi Isyarat supaya masyarakat duduk dan senjata (parang) harus dibuang jauh-jauh. Sesudah masyarakat duduk semua dan parang masing-masing mereka sudah buang, berarti keadaan dalam suasana aman, seorang polisi jepang bernama hamlet semen membuang tembakan keatas tanda aman. Tapi masyarakat sama sekali tidak mengetahui keadaan sedemikian itu, mereka mengertikan sudah mereka yang ditembak, tidak berpikir panjang lebar lagi langsung mengamuk. Lanoni langsung memotong Imaki Ken Kanrikan, Bebelan menikam JumPoco, suasana sudah kacau balau. Dalam keadaan demikian itu Imaki Ken Kanrikan dan Lanoni mati ditempat sedang bebelan dan H. Hamsah luka parah, tapi masih sempat menyingkirkan diri ketempat yang aman. Lanoni di makamkan di Desa Ogogasang dan Imaki Ken Kanrikan di Desa Tinabogan. Desa malomba pada saat itu tidak aman, banyak masyarakat yang menyelamatkan diri sampai-sampai lari ke pantai timur (swapraja Moutong).
Satu bulan kemudian Pemerintah Jepang mengadakan operasi dan penangkapan kepada semua anggota pemberontak. Tantong Madayuni dan beberapa kawan sempat menyelamatkan diri kembali ke kalimantan dan nanti meninggal dunia tahun 1985, di pulau Duawan Kab. Berau.
Sedangkan Bebelan, Taniangka Mangi Darinong, Muhsin, H. Hamsah, Amat, Baco Lena, Abd. Wahab, Usman, Adam Labada dan Labuoku (Ambo Ratu) ditangkap dan dibawah ke Tolitoli, langsung diadili. Keputusan dari pengadilan Jepang kepada 11 orang penduduk malomba tersaebut dijatuhi hukuman mati (dipancung) dikaki gunung Panasakan Kab. Tolitoli, sedangkan 7 orang hanya disiksa oleh pemerintah jepang selama 3 bulan di tansi polisi Tolitoli, mereka ialah lamadu, Datu Radjaili, Jafar Bantilan, Baula, Patana dan Lasainong. Demi diketahui oleh masyarakat Kab. Tolitoli umumnya, peristiwa 18 Juli 1945 diMalomba dapat menyelamatkan rakyat desa Nalu yang pada saat itu kurang lebih 1000 orang dalam tahanan jepang karena mereka dituduh sebagai mata-mata musu. Karena rencana pemerintah jepang, sekembalinya Imaki Ken Kanrikan (bupati) dari Malomba rakyat Nalu tersebut akan dipancung semua.
Tuhan Yang Maha Kuasa masih melindungi jiwa rakyat Nalu yang sudah direncanakan oleh pemerintah jepang dibunuh.
Seandainya tidak ada perlawanan masyarakat Malomba 18 Juli 1945 itu pasti rakyat desa Nalu kurang lebih 1000 orang sudah dibunuh.
Berkat adanya peristiwa tersebut maka, selamatlah rakyat Nalu dari Hukuman mati dari pemerintah jepang.
Demikian riwayat singkat dari Persitiwa 18Juli 1945 di Malomba, semoga mendapat sambutan positifyang layak dari masyarakat demi generasi penerus.
DONDO, 10 Juli 2011
Yang membuat

H. Mahmud Radjaili
Ketua Majelis Adat Dondo